Jumat, 20 November 2009

STRESS

1. Apa perbedaan antara gangguan jiwa dan stress
Umumnya yang dimaksudkan dengan stres adalah pola adaptasi umum dan pola reaksi menghadapi stresor, yang dapat berasal dari dalam di individu maupun dari lingkungannya. Bila proses adaptasi berhasil dan stresor yang dihadapi dapat diatasi secara memadai, maka tidak akan timbul stres. Baru bila gagal dan terjadi ketidakmampuan, timbullah stres. Menurut Hans Selye: Stres tidak selalu merupakan hal yang negatif. Hanya bila individu menjadi terganggu dan kewalahan serta menimbulkan distres, barulah stres itu merupakan hal yang merugikan, sedangkan Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress (misalnya nyeri) atau disabilitas (yaitu kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai dengan peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan (American Psychiatric Association 1994 ).Sehingga dapat disimpulkan bahwa stress adalah salah satu sebab yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, dan gangguan jiwa adalah akibat yang ditimbulkan oleh stress itu sendiri.
2. Jelaskan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya stress
a. Faktor-faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis:
• Neroanatomi
• Nerofisiologi
• Nerokimia
• Tingkat kematangan dan perkembangan organik
• Faktor-faktor pre dan perinatal
b. Faktor-faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif :
• Interaksi ibu-anak : normal (rasa percaya dan rasa nyaman) atau abnormal berdasarkan kekurangan, distorsi, dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan).
• Peranan ayah
• Persaingan antara saudara kandung
• Intelegensi
• Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, dan masyarakat.
• Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa bersalah.
• Konsep diri, pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu.
• Keterampilan, bakat, dan kretivitas.
• Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya.
• Tingkat perkembangan emosi.
c. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural :
• Kestabilan keluarga
• Pola mengasuh anak
• Tingkat ekonomi
• Perumahan : perkotaan lawan pedesaan.

3. Jelaskan tentang psikopatologi terjadinya gangguan jiwa yang disebabkan oleh stress
Fisiologi stress

Anatomi
Reaksi stress dan efeknya melibatkan otak dan seluruh fungsi tubuh, diantaranya adalah :
> Susunan saraf
> Sistem Imunitas
Martin (1938) mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu (1). status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan, dan (2). stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan pada modulasi sistem imun. Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan
HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti
> Indera persepsi
> Kardiovaskular
Lebih menarik lagi adalah pengaruh stres (eksperimental) terhadap organ atau jaringan tubuh tertentu. Contohnya pemberian syok elektris (electric footshock) intensitas rendah akan meningkatkan produksi antibodi saluran pernafasan tikus. Mekanismenya adalah melalui proses hambatan makrofag alveolar yang bersifat supresif
> Kulit
> Keseimbangan Hormonal
> Sistem Cerna
stres kronik pada manusia dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan. Orang depresi yang banyak makan mengalami penurunan kadar CRF serebrospinal, konsentrasi katekolamin dan aktivitas sistem hipotalamo-pituitari-adrenal. Efek glukokortikoid (GCs) sebagai hasil sekresi adrenokortikotropin sangatlah kompleks; secara akut (dalam beberapa jam), glukokortikoid langsung akan menghambat aktifitas aksis hipothalamo-pituitari-adrenal, tetapi pada yang kronik (setelah beberapa hari) steroid di otak secara langsung akan terpacu
> Sistem napas
Substansi kimia:
Stres dapat mempengaruhi produksi hormone-hormon dalam tubuh
• Hormon epinefrin (meningkat) bertujuan :
a. memperkuat system saraf simpatis untuk mempersiapkan tubuh fight-or-flight (lari atau hadapi stress tersebut)
b. Memobilisasi simpanan karbohidrat dan lemak; meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah
• Hormon CRH-ACTH-kortisol (meningkat) bertujuan memobilisasi simpanan energy dan bahan pembangunan metabolic untuk digunakan jika diperlukan, meningkatkan glukosa, asam amino darah, dan asam lemak darah ACTH mempermudah proses belajar dan perilaku.
• Hormon Glukagon (meningkat) dan hormone Insulin (menurun) bekerja sama dengan tujuan untuk meningkatkan glukosa darah dan asam lemak darah
• Hormon Renin angiotensin-aldosteron (meningkat) bertujuan menahan garam dan H2O untuk meningkatkan volume plasma; membantu mempertahankan tekanan darah jika terjadi pengeluaran akut plasma.
• Hormon vasopressin (meningkat), vasopressin dan angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi arteriol untuk meningkatkan tekanan darah.
Psikopatologi
Elemen-elemen dari psikopatologi adalah id, ego, dan superego. Titik tekan dalam membentuk pribadi seimbang diperankan oleh ego. Jika ego kuat maka kepribadian memiliki peluang besar berkreasi untuk keselarasan pribadi. Taksiran yang tak mengenal batas dari id mesti diimbangi dengan keteguhan ego. Hal ini bukan hanya mencipta suatu kemapanan pribadi, namun dapat melakukan mekanisme yang keratif seperti sublimasi. Jadi semata-mata individu tidak terfokus kepada pemenuhan organisme.
Ego sebagai simbol selfish berpengaruh dari pengalaman-pengalamn selama ini, baik skala internal maupun eksternal. Telah disinyalir gunanya melakukan kontak dengan realitas secara efisien, bukan hanya sebatas kriteria kenormalan individu, namun dengan begitu kita tidak terjerumus kepada fantasi semata. jika disharmonisasi terjadi dalam interaksi id, ego, dan superego akan mengakibatkan kepribadian tidak seimbang menahan gempuran, semakin lama semakin kacau, tidak ada sublimasi atau kreatifitas
Koordinasi antara id, ego, dan superego berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing tidak dapat dibendung untuk berkembang menuju penyakit. Identitas yang melekat cenderung sulit dikenali, contohnya kita sering menyaksikan individu psikosis mengalami kehancruran parah di mana ia tidak mengenali dirinya sendiri.
Gangguan Sistem Limbik dan Hipothalamus dalam kaitannya dengan stress:
• Menyebabkan berbagai gangguan jiwa
• Kehilangan memori pada penderita demensia
• Impuls yang buruk pada perilaku maniak atau psikotis
• Suhu tubuh tidak menentu
• Kurang nafsu makan
• Dorongan seksual meningkat atau tidak ada sama sekali
• Emosi tidak terkontrol
Substansi biokimia yang berperan dalam proses stress :
• Dopamin terlibat dalam menimbulkan skizofrenia dan psikosis lain serta gangguan gerakan (parkinson)
• Norepinefrin yang berlebihan menyebabkan berbagai gangguan ansietas, sedangkan jika kekurangan norepinefrin dapat mempengaruhi kehilangan memori, menarik diri dari masyarakat, dan depresi
• Serotonin diketahui berperan dalam perilaku waham, halusinasi, dan menarik diri pada penderita skizofrenia
• Histamin terlibat dalam memproduksi respons alergi perifer,stimulasi jantung dan kewaspadaan. Beberapa obat psikotropika menyekat histamin, menyebabkan peningkatan berat badan, sedasi, dan hipotensi
• Asetilkolin dan GABA mempengaruhi siklus tidur / terjaga serta memberi tanda aktifnya otot.

4. Jelaskan tentang psikodinamika terjadinya gangguan jiwa yang disebabkan oleh stress
Psikodinamika
Freud (1936) menjelaskan mekanisme pertahanan sebagai upaya manusia untuk mengendalikan kesadaran. Jika seseorang memiliki perasaan dan perasaan yang tidak tepat hingga muncul perasaan tidak pas atau ada kesalahan, maka ia akan merepresi pikiran dan perasaan tersebut.
Represi adalah proses penyimpanan impuls yang tidak tepat ke dalam alam bawah sadar hingga impuls tersebut tidak dapat diingat kembali, tapi suatu waktu kemudian masalah atau impuls dapat muncul kembali dan dapat mengganggu perilaku, pikiran, mimpi, perasaan, dan kebutuhan orang tersebut. Jadi gangguan jiwa dapat dikatakan sebagai tidak lengkapnya represi dalam diri.
5. Jenis-jenis gangguan jiwa yang disebabkan oleh stress
• ansietas.
• gangguan persepsi : halusinasi.
• waham.
• risiko bunuh diri.
• perilaku kekerasan.
• isolasi sosial.
• harga diri rendah.
• depresi.
• demensia
• defisit perawatan diri.

Jenis-jenis Stres
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
• * Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
• * Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

6. Jelaskan askep pada klien dengan gangguan jiwa yang disebabkan oleh stress
Askep Halusinasi
A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) pasca indera tanpa adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
B. Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :
1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.
2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.
3. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
C. Etiologi
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas.
Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
D. Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.
E. Tanda dan Gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
2. Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
3. Melaksanakan program terapi dokter. Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
4. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada. Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
5. Memberi aktivitas pada pasien. Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
6. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan. Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi
A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
1. Faktor predisposisi. Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
o Faktor Perkembangan. Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
o Faktor Sosiokultural. Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
o Faktor Biokimia. Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
o Faktor Psikologi
o Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
o Faktor genetic
o Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
3. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu:
o Dimensi Fisik. Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
o Dimensi Emosional. Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
o Dimensi Intelektual. Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
o Dimensi Sosial. Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
o Dimensi Spiritual. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
4. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
5. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungdiri rendah.
C. Intervensi
Diagnoasa 1.:
Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya
b. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
c. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
• Bina Hubungan saling percaya
• Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
• Dengarkan ungkapan klien dengan empati
• Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
• Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
• Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.
• Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
• Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
• Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
• Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
• Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien.
• Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
• Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
• Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
• Bantu klien menggunakan obat secara benar.
Diagnosa 2.:
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
2. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
3. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
4. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
5. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :
• Bina hubungan saling percaya.
• Buat kontrak dengan klien.
• Lakukan perkenalan.
• Panggil nama kesukaan.
• Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
• Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
• Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi penyebab.
• Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
• Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
• Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang ditentukan.
• Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
• Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
• Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
• Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
• Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
• Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
• Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan car a keluarga menghadapi.
• Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
• Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali seminggu.
Diagnosa 3.:
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
2. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
3. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
4. pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya
5. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan
Intervensi :
o Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.
o Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
o Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
o Berikan pujian.
o Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
o Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
o Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
o Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.
o Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.
o Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
o Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
o Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
o Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
o Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
o Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang lain
o Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan perawat).
o Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
o Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
o Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada dirinya.
7. Jelaskan terapi pada klien baik terapi farmakologi maupun nonfarmakologi
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma.Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan yaitu :
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1.Peredaan gejala
2.pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3.Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatic, mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatic dan merencanakan pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatic melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stress. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejl ayagn mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan
Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal. Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.
PENGERTIAN
Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat neuroleptika (bekerja pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi:
1. Teori biologis (somatik), mencakup: pemberian obat psikofarmaka, lobektomi dan electro convulsi therapy (ECT)
2. Psikoterapeutik
3. Terapi modalitas

KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI
1. Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari manajemen psikoterapi
2. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka
3. Yang termasuk neurotransmitter: dopamin, neuroepinefrin, serotonin dan GABA (Gamma Amino Buteric Acid) dan lain-lain
4. Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental
5. Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan neurotransmitter

KONSEP PSIKOFARMAKOLOGI
1. Sawar darah otak melindungi otak dari fluktuasi zat kimia tubuh, mengatur jumlah dan kecepatan zat yang memasuki otak
2. Obat-obat psikofarmaka dapat melewati sawar darah otak, sehingga dapat mempengaruhi sistem saraf
3. Extrapyramidal side efect (efek samping terhadap ekstrapiramidal) terjadi akibat penggunaan obat penghambat dopamin, agar didapat keseimbangan antara dopamin dan asetilkolin
4. Anti cholinergic side efect (efek samping antikolinergik) terjadi akibat penggunaan obat penghambat acetilkolin
Menurut Rusdi Maslim yang termasuk obat- obat psikofarmaka adalah golongan:
1. Anti psikotik, pemberiannya sering disertai pemberian anti Parkinson
2. Anti depresi
3. Anti maniak
4. Anti cemas (anti ansietas)
5. Anti insomnia
6. Anti obsesif-kompulsif
7. Anti panic

YANG PALING SERING DIGUNAKAN OLEH KLIEN JIWA
A. Anti Psikotik
Anti psikotik termasuk golongan mayor trasquilizer atau psikotropik: neuroleptika.
Mekanisme kerja: menahan kerja reseptor dopamin dalam otak (di ganglia dan substansia nigra) pada sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal.
Efek farmakologi: sebagai penenang, menurunkan aktivitas motorik, mengurangi insomnia, sangat efektif untuk mengatasi: delusi, halusinasi, ilusi dan gangguan proses berpikir.
Indikasi pemberian: Pada semua jenis psikosa, Kadang untuk gangguan maniak dan paranoid
EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK
a. Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side efect/EPSE)
1). Parkinsonisme
Efek samping ini muncul setelah 1 - 3 minggu pemberian obat. Terdapat trias gejala parkonsonisme:
Tremor: paling jelas pada saat istirahat
Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang gerakan reiprokal pada saat berjalan
Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku)
2). Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama
Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak terkontrol
3). Akathisia
Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan, seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah bolak-balik dan gerakan mengguncang pada saat duduk.
Ketiga efek samping di atas bersifat akur dan bersifat reversible (bisa ilang/kembali normal).
4). Tardive dyskinesia
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah pengobatan jangka panjang bersifat irreversible (susah hilang/menetap), berupa gerakan involunter yang berulang pada lidah, wajah,mulut/rahang, anggota gerak seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut hilang pada waktu tidur.
b. Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti cholinergic side efect
Terjadi karena penghambatan pada reseptor asetilkolin. Yang termasuk efek samping anti kolinergik adalah:
• Mulut kering
• Konstipasi
• Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan sikloplegia (pariese otot-otot siliaris) menyebabkan presbiopia
• Hipotensi orthostatik, akibat penghambatan reseptor adrenergic
• Kongesti/sumbatan nasal

Jenis obat anti psikotik yang sering digunakan:
• Chlorpromazine (thorazin) disingkat (CPZ)
• Halloperidol disingkat Haldol
• Serenase
B. Anti Parkinson
Mekanisme kerja: meningkatkan reseptor dopamin, untuk mengatasi gejala parkinsonisme akibat penggunaan obat antipsikotik.
Efek samping: sakit kepala, mual, muntah dan hipotensi.
Jenis obat yang sering digunakan: levodova, tryhexifenidil (THF).
C. Anti Depresan
Hipotesis: syndroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah satu/beberapa aminergic neurotransmitter (seperti: noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistem limbik.
Mekanisme kerja obat:
• Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik neurotransmitter
• Menghambat re-uptake aminergik neurotransmitter
• Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik neurotransmitter pada neuron di SSP.
Efek farmakologi:
• Mengurangi gejala depresi
• Penenang

Indikasi: syndroma depresi
Jenis obat yang sering digunakan: trisiklik (generik), MAO inhibitor, amitriptyline (nama dagang).
Efek samping: yaitu efek samping kolonergik (efek samping terhadap sistem saraf perifer) yang meliputi mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi, hipotensi orthostatik.
D. Obat Anti Mania/Lithium Carbonate
Mekanisme kerja: menghambat pelepasan serotonin dan mengurangi sensitivitas reseptor dopamin.
Hipotesis: pada mania terjadi peluapan aksi reseptor amine.
Efek farmakologi:
• Mengurangi agresivitas
• Tidak menimbulkan efek sedative
• Mengoreksi/mengontrol pola tidur, iritabel dan adanya flight of idea
Indikasi:
Mania dan hipomania, lebih efektif pada kondisi ringan. Pada mania dengan kondisi berat pemberian obat anti mania dikombinasi dengan obat antipsikotik.
Efek samping: efek neurologik ringan: fatigue, lethargi, tremor di tangan terjadi pada awal terapi dapat juga terjadi nausea, diare.
Efek toksik: pada ginjal (poliuria, edema), pada SSP (tremor, kurang koordinasi, nistagmus dan disorientasi; pada ginjal (meningkatkan jumlah lithium, sehingga menambah keadaan oedema.
E. Anti Ansietas (Anti Cemas)
Ansxiolytic agent, termasuk minor tranquilizer. Jenis obat antara lain: diazepam (chlordiazepoxide).
F. Obat Anti Insomnia: phenobarbital
G.Obat Anti Obsesif Kompulsif: clomipramine
H. Obat Anti Panik: imipramine










DAFTAR PUSTAKA

http://lussysf.multiply.com/journal/item/67
http://www.geocities.com/almarams/Stres.htm
http://mikopoetro.multiply.com/journal/item/8
(http://duniapsikologi.multiply.com/journal/item/2)
http://www.ilmukeperawatan.com/asuhan_keperawatan_depresi.html

Kamis, 12 November 2009

Cara Pemeriksaan Nervus Cranialis

1) Nervus I : olfaktorius
Tujuannya adalah untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu, selain itu untuk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.

Cara pemeriksaan
Salah satu hidung pasien ditutup, dan pasien diminta untuk mencium bau-bauan tertentu yang tidak merangsang .Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lubang hidung yang lainnya dengan tangan. Sebelumnya periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip. Contoh bahan yang sebaiknya dipakai adalah : teh, kopi,tembakau,sabun, jeruk.
Adapun kelainan yang bisa didapatkan dapat berupa:

a) Anosmia adalah hilangnya daya penghiduan.
b) Hiposmia adalah bila daya ini kurang tajam
c) Hiperosmia adalah daya penghiduan yang terlalu peka.
d) Parosmia adalah gangguan penghiduan bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau bawang goreng.
e) Jika parosmia dicirikan oleh modalitas olfaktorik yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin , pesing dsb, maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia.
f) Baik dalam hal parosmia maupun kakosmia adanya perangsangan olfaktorik merupakan suatu kenyataan, hanya pengenalan nya saja tidak sesuai, tetapi bila tercium suatu modalitas olfaktorik tanpa adanya perangsangan maka kesadaran akan suatu jenis bau ini adalah halusinasi, yaitu halusinasi olfaktorik.

2) Nervus II : Optikus
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengukur ketajaman penglihatan ( visus) dan menentukan apakah kelainan pada penglihatan disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh kelainan saraf.

Persiapan:
Ruangan harus mempunyai penerangan yang baik. Yakinkan terlebih dahulu bahwa tidak ada katarak, jaringan parut di kornea atau nebula, iritis, uveitis, glaucoma atau korpus alienum. Awas jangan melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan pada mata buatan!. Tanyakan apakah pasien buta huruf atau tidak. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus) harus dilakukan pada masing-masing mata secara bergiliran. Pemeriksaan visus ini merupakan pemeriksaan kasar yang tidak bertujuan untuk menentukan lensa kacamata untuk koreksi kelainan refraksi.


Pemeriksaan:
• membandingkan ketajaman penglihatan pemeriksa dengan jalan pasien disuruh melihat benda yang letaknya jauh misal jam didinding, membaca huruf di buku atau koran.
• melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kartu Snellen. Pasien diminta untuk melihat huruf huruf sehingga tiap huruf dilihat pada jarak tertentu, kartu snellen ialah huruf huruf yang disusun makin kebawah makin kecil , barisan paling bawah mempunyai huruf huruf paling kecil yang oleh mata normal dapat dibaca dari jarak 6 meter.
contoh visus = 2/60 pasien hanya dapat melihat pergerakan jari pada jarak 2 meter Untuk gerakan tangan harus tampak pada jarak 300 meter. Jika kemampuannya hanya sampai membedakan adanya gerakan , maka visusnya ialah 1/300. Contoh Visus = 3/300 pasien hanya dapat melihat pergerakan tangan pada jarak 3 meter. Namun jika hanya dapat membedakan antara gelap dan terang maka visus nya 1/~, bila dengan sinar lampu masih belum dapat melihat maka dikatakan visus pasien tersebut adalah nol. Bila hendak melakukan pemeriksaan pada mata kanan maka mata kiri harus ditutup dengan telapak tangan kanan dan sebaliknya.
Bila terdapat gangguan ketajaman penglihatan apakah gangguan ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh kelainan oftalmologik ( bukan saraf ) misalnya kornea, uveitis, katarak dan kelainan refraksi maka dengan menggunakan kertas yang berlubang kecil dapat memberikan kesan adanya faktor refraksi dalam penurunan visus, bila dengan melihat melalui lubang kecil huruf bertambah jelas maka faktor yang berperan mungkin gangguan refraksi.

b) Pemeriksaan pengenalan warna
Tes untuk pengenalan warna dapat dilakukan dengan menggunakan tes ishihara dan stiling atau dengan potongan benang wol berbagai warna. Pasien disuruh membaca angka berwarna yang tercantum dikartu stiling atau ishihara, atau mengambil wol berwarna sesuai dengan perintah.
c) Pemeriksaan medan(lapangan) penglihatan
Medan penglihatan merupakan batas penglihatan perifer. Medan tersebut adalah ruang dimana sesuatu masih dapat dilihat oleh mata yang pandangannya ditatapkan secara menetap pada satu titik. Kalau kita menatapkan pandangan salah satu mata pada suatu benda, maka gambarannya dapat diserap oleh macula dengan jelas dan tajam. Penglihatan yang diserap oleh macula disebut penglihatan sentral. Namun demikian, secara serentak bagian retina di luar daerah macula dapat menyerap juga gambran tersebut, meskipun kurang tajam dan kurang berwarna. Penglihatan dengan perantaraan retina diluar macula dikenal sebagai penglihatan perifer.

Persiapan:
Untuk setiap tes yang akan dipakai diperlukan kooperasi pasien. Pasien diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai tes yang akan diambil. Pertama pasien harus dilatih untuk emnatapkan pandangannya pada suatu titik dan memberitahukan terlihatnya kapas putih atau ujung pensil yang memasuki kawasan medan penglihatannya. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan kepada pasien bahwa ia tidak usah mencari dengan menggerakan bola matanya bila sipemeriksa menanyakan sudah ;ihat belum. Ia menunggu saat terlihatnya sesuatu yang dipertunjukkan dengan pandangannya tetap menatap pada titik fiksasi itu. Tes medan penglihatan ini dilakukan secara monokuler.
Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan, yaitu tes konfrontasi dengan tangan, tes dengan kampimeter, dan tes dengan perimeter.

Pemeriksaan:
• Metode Konfrontasi
Dalam hal ini pasien duduk atau berdiri kurang lebih jarak 1 meter dengan pemeriksa, Jika kita hendak memeriksa mata kanan maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangannya pemeriksa harus menutup mata kanannya. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien. Setelah pemeriksa menggerakkan jari tangannya dibidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien dan gerakan dilakukan dari arah luar ke dalam. Jika pasien mulai melihat gerakan jari – jari pemeriksa , ia harus memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah iapun telah melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan ( visual field ) maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua jurusan dan masing masing mata harus diperiksa.

• Tes dengan kampimeter dan perimeter
Kampimeter adalah papan tulis hitam dimana tergambar bundaran dengan garis garis radial berikut dengan bintik buta. Sedangkan perimeter adalah alat diagnostic yang berbentuk lengkungan seperti gambar dibawah ini:









Dengan perimeter didapat hasil yang lebih akurat oleh karena lengkungan perimeter sesuai dengan lengkungan retina. Perimeter dilengkapi dengan tempat untuk meletakkan dagu, sehingga pasien dapat menjalani tes dengan posisi kepala yang tepat tanpa meletihkan diri. Lebih teliti dari tes konfrontasi. Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.

d) Pemeriksaan fundus
Dilakukan dengan menggunakan oftalmoskop. Funduskopi dilakuakn dengan tujuan menentukan adanya miopi, hipermetropi, atau emetropi; penegnamatn retina; dan pengamatan papil nervi optisi
Persiapan:
Perhatikan posisi atau sikap pasien dan pemeriksa serta kondisi opthalmoskop. Pasien dapat periksa dengan posisi duduk atau berbaring. Periksa terlebih dahulu lampu dan baterai opthalmoscop baik dan lensa yang ditempatkan diantara lubang pengintai dan lubang penyorot adalah berdioptri nol bila pasien emetrop (normal). Sebelum dilakukan pemeriksaan funduskopi kamar periksa digelapkan terlebih dahulu.
Pemeriksaan:
Pemeriksa memegang optalmoskop dengan tangan dominan. Tangan yang lainnya diletakkan diatas dahi pasien dengan tujuan sebagai fiksasi terhadap kepala pasien.kemudian sipemeriksa menyandarkan dahinya dorsum manis pada tangan yang memegang dahi pasien, sehingga mata pasien dan mata pemeriksa berhadapan satu sama lain. Selanjutnya sipemeriksa menempatkan tepi atas teropong optalmoskop dengan lubang pengintai diatas alis. Setelah lampu oftalmoskop dinyalakan, pemeriksa mengarahkan sinar lampu itu ke pupil pasien. Selama funduskopi dilakukan, pasien diminta untuk mengarahkan pandangan matanya jauh kedepan. Bila pandangan itu diarahkan kesinar lampu, sinar lampu akan dipantulkan oleh fovea sentralis ke lubang teropong dan fundus mata sukar mata sukar terlihat.
3) Nervus III (okulomotor)
a) Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.
b) Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
c) Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi bentuk dan ukuran pupil, perbandingan pupil kanan dan kiri ( pupil sebesar diameter 1mm, perbedaan masih dianggap normal ), refleks pupil. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan :
- Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
- Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
- Refleks pupil akomodatif atau konvergensi

Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi).

4) Nervus IV (Troklearis)
Pemeriksaan meliputi :
a) Gerak mata ke lateral bawah
b) Strabismus konvergen
c) Diplopia

5) Nervus V (Trigeminus)
a) Pemerksaan motorik
• pasien diminta merapatkan gigi sekuatnya, kemudian meraba m . masseter dan m. temporalis. Normalnya kiri dan kanan kekuatan, besar dan tonus nya sama .
• pasien diminta membuka mulut dan memperhatikan apakah ada deviasi rahang bawah, jika ada kelumpuhan maka dagu akan terdorong kesisi lesi. Sebagai pegangan diambil gigi seri atas dan bawah yang harus simetris.Bila terdapat parese disebelah kanan , rahang bawah tidak dapat digerakkan kesamping kiri. Cara lain pasien diminta mempertahankan rahang bawahnya kesamping dan kita beri tekanan untuk mengembalikan rahang bawah keposisi tengah
b) Pemeriksaan sensorik
Dengan kapas dan jarum dapat diperiksa rasa nyeri dan suhu, kemudian lakukan pemeriksaan pada dahi, pipi dan rahang bawah.
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul.
Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2.
Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.


c) Pemeriksaan Refleks
• Refleks masseter / Jaw reflex ( berasal dari motorik Nervus V).
Dengan menempatkan satu jari pemeriksa melintang pada bagian tengah dagu, lalu pasien dalam keadaan mulut setengah membuka dipukul dengan ”hammer refleks” normalnya didapatkan sedikit saja gerakan, malah kadang kadang tidak ada. Bila ada gerakan nya hebat yaitu kontraksi m.masseter, m. temporalis, m pterygoideus medialis yang menyebabkan mulut menutup ini disebut reflex meninggi.

• Refleks supraorbital.
Dengan mengetuk jari pada daerah supraorbital, normalnya akan menyebabkan mata menutup homolateral ( tetapi sering diikuti dengan menutupnya mata yang lain ).

6) Nervus VI (Abdusens)
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
7) Nervus VII (Fasialis)
a) Pemeriksaan fungsi motorik.
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan kanan apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis, lebarnya celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut.Kemudian pasien diminta untuk menggerakan wajahnya antara lain:
– Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.
– Mengangkat alis
– Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.
– Moncongkan bibir atau menyengir.
– Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan kanan apakah sama kuat . Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar kebagian sisi yang lumpuh.
b) Pemeriksaan fungsi sensorik.
• Dilakukan pada 2/3 bagian lidah depan. Pasien disuruh untuk menjulurkan lidah , kemudian pada sisi kanan dan kiri diletakkan gula, asam,garam atau sesuatu yang pahit. Pasien cukup menuliskan apa yang terasa diatas secarik kertas.
• Bahannya adalah:Glukosa 5 %, Nacl 2,5 %, Asam sitrat 1 %, Kinine 0,075 %.
• Sekresi air mata.
• Dengan menggunakan Schirmer test ( lakmus merah )
• Ukuran : 0,5 cm x 1,5 cm
• Warna berubah menjadi Biru : Normal: 10 – 15 mm ( lama 5 menit ).

8) Nervus VIII (Vestibulococlearis)
Tes pendengaran (N. Kokhlearis):
a) Tes Bisik
Tes ini merupakan tes yang sederhana tapi cukup informative. Untuk ini diperlukan ruangan sepanjang 6 meter dan bersifat kedap suara. Orang coba duduk menyamping sehingga yang akan diperiksa menghadap ke mulut pemeriksa. Tutuplah telinga yang tidak diperiksa dan kalau perlu mata juga ditutp agar gerakan bibir tidak terlihat. Pemeriksa mengucapkan kata-kata secara berbisik dengan intensitas bisiskan sejauh 30 cm dari telinga dan orang coba harus mengulangi dengan benar. Bila dapat didengar dari jarak: 6 meter berarti normal, 5 meter dalam batas normal, 4 meter berarti tuli ringan, 2- 3 meter berarti tuli sedang, dan 1 meter berarti tuli berat. Selain itu, tes pendengaran dapat dilakukan dengan membisikkan kata-kata yang frekuensinya tinggi misalnya karcis, kikis, dan sebagainya.
b) Tes Arloji
orang coba diminta mendengarkan detik arloji yang mula-mula telinga kanan kemudian telinga kiri.
c) Tes Garpu tala
Tes Rinne
Garpu tala digetarkan kemudian pangkalnya ditempatkan pada tulang mastoid orang coba. Orang coba diminta untuk memberitahukan jika bunyi garpu tala tidak terdengar lagi. Lalu garpu tala dipindahkan sehingga ujungnya yang bergetar berada kira-kira 3 cm di depan liang telinga. Jika suara masih terdengar maka disebut rinne positif, sedang bila tidak dapat didengar lagi disebut rinne negative.
Tes Weber
Garpu tala digetarkan dan ditempatkan di vertex orang coba. Bila suara terdengar lebih keras pada salah satu telinga, misalnya kanan maka ini disebut lateralisasi ke kanan.
Tes Schawabach
Garpu tala digetarkan dan ditempatkan pada tulang mastoid orang coba. Orang coba diminta memberitahukan bila tidak mendengar bunyi lagi dan dengan segera garpu tala dipindahkan ke tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa juga tidak mendengar suara maka prosedur pemeriksaan dibalik. Garpu tala mula-mula diletakkan pada tulang mastoid pemeriksa dan setelah tak terdengar dipindahkan pada orang coba. Bila orang coba juga tidak mendengar berarti telinga orang coba normal.
Tes keseimbangan (N. Vestibularis):
a) Reaksi Kompensasi
Orang coba duduk tegap pada kursi barani kemudian diputar dengan kecepatan 10x/ detik. Perhatikan reaksi orang coba bila kursi diputar dari arah kana ke kiri akan terlihat kompensasi berupa ekstensi kaki kiri dan fleksi kaki kanan disertai gerakan bola mata.
b) Tes tunjuk
Orang coba duduk pada kursi barani sedang pemeriksa berdiri di depannya. Orang coba meluruskan tangan kanannya sedangkan pemeriksa mengulurkan jari telunjuknya, sehingga dapat disentuh oleh jari orang coba. Orang coba mengangkat lengan kanannya dan kemudian dengan cepat menurunkannya kembali sehingga menyentuh jari telunjuk pemeriksa. Mata orang coba ditutp dengan sapu tangan dan kepala ditundukkan 30o ke depan. Putarlah kursi ke kanan 10x dalam 20 detik. Perhatikan arah gerakan kepala dan badan orang coba kemudian putaran kursi dehentikan dan penutup mata dibuka. Orang coba diminta untuk menegakkan kepalanya kembali dan lakukan tes tunjuk seperti di atas.
c) Nistagmus
Orang coba duduk di kursi barani dengan kedua tangannya diletakkan pada sandaran kursi dan kedua kaki pada tempat dengan sebaik-baiknya. Mata orang coba ditutp dengan sapu tangan dan kepala ditundukkan 30o ke depan. Putarlah kursi ke kanan 10x dalam 20 detik. Kemudian hentikan putaran sambil membuka penutup mata dan mintalah orang coba melihat pada suatu benda yang agak jauh di depannya. Perhatikan gerakan bola matanya.
d) Tes jatuh
Orang coba duduk di atas kursi barani dengan kedua mata tertutup dan badan membungkuk sampai 120o, putarlah kursi ke kanan dengan putaran 10x dalam 20 detik. Segera putaran dihentikan dan orang coba diminta berdiri tegak. Perhatikan kea rah mana orang tersebut akan jatuh.
e) Tes tongkat
Orang coba memegang tongkat yang difiksir pada lantai sambil menundukkan kepala dan mengelilingi tongkat tersebut. Kemudian orang coba diminta berjalan dan perhatikan bagaimana reaksinya.
9) Nervus IX (Glosofaringeus) dan Nervus X (Fagus)
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “aaaa” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan.
Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).

10) Nervus XI (Aksesorius)
a) Memeriksa tonus dari m. Trapezius. Dengan menekan pundak pasien dan pasien diminta untuk mengangkat pundaknya.
b) Memeriksa m. Sternocleidomastoideus. Pasien diminta untuk menoleh kekanan dan kekiri dan ditahan oleh pemeriksa , kemudian dilihat dan diraba tonus dari m. Sternocleidomastoideus.

11) Nervus XII (Hipoglosus)
a) Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik hal demikian disebut: dysarthri.
b) Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser kedaerah lumpuh karena tonus disini menurun.
c) Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok kesisi yang sakit.
d) Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah .
e) Kekuatan otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah kesamping pada pipi dan dibandingkan kekuatannya pada kedua sisi pipi.