_corner of dReam_
Jumat, 11 Februari 2011
URTICARIA (biduran/gelegat)
• Reaksi alergi hipersensitifitas tipe I pada kulit, (kadar antigen yang rendah dan memerlukan sistesis Ig E)
• Lesi kulit yang dapat mengebabkan angioedema
• Populasinya 25 % (anak – anak maupun dewasa)
2. Etiologi (penyebab)
Hipersensitivitas anafilaktik (tipe 1)
Reaksi yang terjadi dalam tempo beberapa menit setelah kontak dengan antigen (dapat berlangsung lebih dari 2x24jam)
Reaksi lambat dapat menyebabkan reaksi alergi kronik → mediator kimia yang terus dilepas
Melibatkan produksi antibody Ig E → kelenjar limfe sel2 T helper.
Antigen akan terikat oleh antibody Ig E → mengaktifkan reaksi sistemik → memasuki proses degranulasi → pelepasan mediator kimia primer
Mediator kimia primer (histamin, leukotrien, eosinophil chemotactic factor of anafilaxis/ECF-A) → kulit, paru – paru dan saluran gastrointestinal
Sifatnya anafilaksis lokal dan sistemik
Urtikaria Dingin (Sangat)
Urtikaria Panas (pemanasan Lokal)
Urikaria kolinergik, (perasaan ketegangan emosi, pengerahan tenaga fisik dan lingkungan yang panas)
Urikaria tekanan
Urtikaria papular (gigitan serangga)
Urikaria kronik
3. Manifestasi Klinik
Lesi yang menonjol /edemotus mendadak muncul. (biasanya berwarna merah muda, ikuran dan bentuk bervariasi)
keluhan gatal
Gangguan rasa nyaman setempat
Daerah tempat lesi (yang utama adalah kulit yaitu sekitar, bibir kelopak mata, pipi, tangan, kaki, genetalia dan lidah; membran mukosa laring, bronkus dan bahkan saluran gastrointestinal/untuk tipe herediter )
4. Pengobatan
Epinefrin,difenhidramin dan hidroksizin (dapat mempercepat resolusi urtikaria akut dan angioderma)
Antihistamin
Loratadin(claritin), feksofenadin (allegra), setirizin (zyrtec) adalah merintangi salah satu reseptor histamin/ H1
Simetidin dan ranitidin (menghambat sjenis reseptor histamin kedua/H2 dapat membantu memulihkan pruritus
Sangat bermanfaat pada urtikaria kronik
steroid korteks adrenal bermanfaat pada penderita biduran akut yang berat.
Senin, 20 Desember 2010
ANATOMI GINJAL
1. GINJAL
Kedudukan ginjal terletak dibagian belakang dari kavum abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, dan melekat langsung pada dinding abdomen. Organ ini terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renalis. Di sebelah anterior, ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan peritoneum. Di sebelah posterior, organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks bawah.
Bentuknya seperti biji buah kacang merah (kara/ercis), jumlahnya ada 2 buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari pada ginjal kanan.
Pada orang dewasa berat ginjal ± 200 gram. Dan pada umumnya ginjal laki – laki lebih panjang dari pada ginjal wanita.
NEFRON
Satuan struktural dan fungsional ginjal yang terkecil di sebut nefron. Tiap – tiap nefron terdiri atas komponen vaskuler dan tubulus yang keduanya secara structural dan fungsional berkaitan erat.
Bagian dominan dari komponen vaskuler adalah glomerolus, suatu berkas (tuft) kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Cairan yang telah terfiltrasi komposisinya nyaris identik dengan plasma kemudian mengalir ke komponen tubulus nefroni. Dalam komponen tubulus terdapat kapsul Bowman, serta tubulus – tubulus, yaitu tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, tubulus pengumpul dan lengkung Henle yang terdapat pada medula.
Komponen tubulus berawal dari kapsula bowman. Kapsula Bowman terdiri atas lapisan parietal (luar) berbentuk gepeng dan lapisan viseral (langsung membungkus kapiler golmerlus) yang bentuknya besar dengan banyak juluran mirip jari disebut podosit (sel berkaki) atau pedikel yang memeluk kapiler secara teratur sehingga celah – celah antara pedikel itu sangat teratur.
Kapsula bowman bersama glomerolus disebut korpuskel renal, bagian tubulus yang keluar dari korpuskel renal disambut dengan tubulus kontortus proksimal yang seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku-liku) di sepanjang perjalanannya. Karena jalannya yang berbelok – belok, kemudian menjadi saluran yang lurus yang semula tebal kemudian menjadi tipis, kemudian ke segmen berikutnya yang disebut lengkung Henle atau loop of Henle, membuat lengkungan tajam berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medulla ginjal. Pars desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke medulla, sedangkan pars asendens lengkung henle berjalan ke atas kembali ke dalam korteks. Berbalik kembali ke korpuskel renal asal melewati apparatus jukstaglomerulus, kemudian berlanjut sebagai tubulus kontortus distal yang seluruhnya juga terletak dalam korteks. Kemudian menuju tubulus pengumpul, dengan satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medulla untuk mengosongkan cairannya yang telah menjadi urin ke dalam pelvis ginjal.
Terdapat dua jenis nefron yaitu, nefron korteks dan nefron jukstamedula. Semua nefron berasal dari korteks, tetapi glomerulus nefron jukstamedula terletak di lapisan dalam korteks di dekat medulla. Perbedaan kedua jenis nefron ini pada lengkung henlenya. Lengkung tajam pada nefron korteks hanya sedikit terbenam kedalam medulla. Sebaliknya lengkung tajam nefron jukstamedula terbenam jauh ke dalam medulla dan kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta. Susunan ini disertai karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta, berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi bergantung kebutuhan tubuh. 80% nefron manusia merupakan jenis nefron korteks.
Rabu, 03 November 2010
am i nurse?
setelah beberapa bulan,, baru nyempetin waktu lagi buat ngisi blog, kasian blogku nggak terurus..
seperti tittle artikel ini, am i nurse?? masih tanda tanya besar dalam hatiku, entah kenapa. sudah tahun ketiga menuntut ilmu di sebuah nursing department yang cukup terkenal di indonesia bagian timur ini, masih menyisakan tanda tanya..
malah tanda tanya itu semakin besar, karena krg lebih 1 setengh tahun lagi diriku menjalani pendidikan sebagai mahasiswa strata 1 keperawatan.
diriku mau kemana setelah ini???
Selasa, 26 Oktober 2010
Minggu, 17 Oktober 2010
Kamis, 14 Oktober 2010
ANEMIA
Secara umum anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Menurut Fenstermacher dan Hudson (1997), anemia adalah berkurangnya secara signifikan massa sel darah merah sehingga kapasitas darah yang membawa oksigen menjadi berkurang.
Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia bukan suatu penyakit atau diagnosis melainkan merupakan pencerminan ke dalam suatu penyakit atau dasar perubahan patofisilogis yang diuraikan oleh anamnese dan pemeriksaan fisik yang teliti serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium.
Etiologi
Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan tersebut secara signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia untuk jaringan. Menurut Brunner dan Suddart (2001), beberapa penyebab anemia secara umum antara lain :
a. Secara fisiologis anemia terjadi bila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
b. Akibat dari sel darah merah yang prematur atau penghancuran sel darah merah yang berlebihan.
c. Produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.
d. Faktor lain meliputi kehilangan darah, kekurangan nutrisi, faktor keturunan, penyakit kronis dan kekurangan zat besi.
Klasifikasi
Anemia dapat diidentifikasikan menurut morfologi sel darah merah serta indeks-indeksnya dan menurut etiologinya. Pada klasifikasi anemia menurut morfologi sel darah merah dan indeks-indeksnya terbagi menjadi :
a. Menurut ukuran sel darah merah
Anemia normositik (ukuran sel darah merah normal), anemia mikrositik (ukuran sel darah merah kecil) dan anemia makrositik (ukuran sel darah merah besar).
b. Menurut kandungan dan warna hemoglobin
Anemia normokromik (warna hemoglobin normal), anemia hipokromik (kandungan dan warna hemoglobin menurun) dan anemia hiperkromik (kandungan dan warna hemoglobin meningkat).
Menurut Brunner dan Suddart (2001), klasifikasi anemia menurut etiologinya secara garis besar adalah berdasarkan defek produksi sel darah merah (anemia hipoproliferatifa) dan destruksi sel darah merah (anemia hemolitika).
a. Anemia Hipoproliferatifa
Sel darah merah biasanya bertahan dalam jangka waktu yang normal, tetapi sumsum tulang tidak mampu menghasilkan jumlah sel yang adekuat jadi jumlah retikulositnya menurun. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang akibat obat dan zat kimia atau mungkin karena kekurangan hemopoetin, besi, vitamin B12 atau asam folat. Anemia hipoproliferatifa ditemukan pada :
1) Anemia aplastik
Pada anemia aplastik, lemak menggantikan sumsum tulang, sehingga menyebabkan pengurangan sel darah merah, sel darah putih dan platelet. Anemia aplastik sifatnya kongenital dan idiopatik.
2) Anemia pada penyakit ginjal
Secara umum terjadi pada klien dengan nitrogen urea darah yang lebih dari 10 mg/dl. Hematokrit menurun sampai 20 sampai 30 %. Anemia ini disebabkan oleh menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun defisiensi eritropoetin.
3) Anemia pada penyakit kronik
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang normal). Apabila disertai dengan penurunan kadar besi dalam serum atau saturasi transferin, anemia akan berbentuk hipokrom mikrositik. Kelainan ini meliputi arthritis reumatoid, abses paru, osteomielitis, tuberkulosis dan berbagai keganasan.
4) Anemia defisiensi-besi
Anemia defisiensi besi adalah keadaan dimana kandungan besi tubuh total turun dibawah tingkat normal dan merupakan sebab anemia tersering pada setiap negara. Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 - 5 gram besi, tergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Penyebab tersering dari anemia defisiensi besi adalah perdarahan pada penyakit tertentu (misal : ulkus, gastritis, tumor pada saluran pencernaan), malabsorbsi dan pada wanita premenopause (menorhagia). Menurut Pagana dan Pagana (1995), pada anemia defisiensi besi, volume corpuscular rata-rata(Mean Corpuscular Volume atau MCV), microcytic Red Blood Cellsdan hemoglobin corpuscular rata-rata (Mean Corpuscular Haemoglobine atau MCH)menurun.
5) Anemia megaloblastik
Anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Terjadi penurunan volume corpuscular rata-rata dan mikrositik sel darah merah. Anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12 disebut anemia pernisiosa. Tidak adanya faktor instrinsik pada sel mukosa lambung yang mencegah ileum dalam penyerapan vitamin B12 sehingga vitamin B12 yang diberikan melalui oral tidak dapat diabsorpsi oleh tubuh sedangkan yang kita tahu vitamin B12 sangat penting untuk sintesadeoxyribonucle ic acid (DNA).
Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat, biasa terjadi pada klien yang jarang makan sayur-mayur, buah mentah, masukan makanan yang rendah vitamin, peminum alkohol atau penderita malnutrisi kronis.
b. Anemia Hemolitika
Pada anemia ini, eritrosit memiliki rentang usia yang memendek. Sumsum tulang biasanya mampu berkompensasi sebagian dengan memproduksi sel darah merah baru tiga kali atau lebih dibandingkan kecepatan normal. Ada dua macam anemia hemolitika, yaitu :
1. Anemia hemolitika turunan (Sferositosis turunan) Merupakan suatu anemia hemolitika dengan sel darah merah kecil dan splenomegali.
2. Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat akibat adanya defek pada molekul hemoglobin dan disertai dengan serangan nyeri. Anemia sel sabit adalah kerusakan genetik dan merupakan anemia hemolitik herediter resesif. Anemia sel sabit dikarenakan oklusi vaskuler dalam kapiler yang disebabkan oleh Red Blood Cells Sickled(RBCs) dan kerusakan sel darah merah yang cepat (hemolisis). Sel-sel yang berisi molekul hemoglobin yang tidak sempurna menjadi cacat kaku dan berbentuk bulan sabit ketika bersirkulasi melalui vena. Sel-sel tersebut macet di pembuluh darah kecil dan memperlambat sirkulasi darah ke organ-organ tubuh. RBCs berbentuk bulan sabit hanya hidup selama 15-21 hari.
Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik dan invasi tumor. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi). Pada destruksi, masalahnya dapat diakibatkan karena defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa faktor di luar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi dalam sel fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini, bilirubin yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan produksi plasma. Hal ini tercermin dalam anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi disebabkan cacat pada sintesis hemoglobin atau dapat dikatakan kurang pembebasan besi dari makrofag ke serum, sehingga kandungan besi dalam hemoglobin berkurang. Sedangkan yang kita tahu sebagian besar besi dalam tubuh dikandung dalam hemoglobin yang beredar dan akan digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin setelah sel darah merah mati. Bila defisiensi besi berkembang, cadangan retikulo- endotelial (haemosiderin dan ferritin) menjadi kosong sama sekali sebelum anemia terjadi.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dl), hemoglobin akan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin (hemoglobinuria). Jadi ada atau tidak adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberikan informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada klien dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat proses hemolitik tersebut.
Anemia pada pasien tertentu disebabkan oleh penghancuran sel darah merah yang tidak mencukupi, biasanya diperoleh dengan dasar :
a. Hitung retikulosit dalam sirkulasi darah.
b. Derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya.
c. Ada atau tidak adanya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.
Manifestasi Klinis
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat maka dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
a. Kecepatan kejadian anemia.
b. Durasi
c. Kebutuhan metabolisme klien bersangkutan
d. Adanya kelainan lain atau kecacatan
e. Komplikasi tertentu atau keadaan penyerta kondisi yang menyebabkan anemia. Karena jumlah sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang cepat sebanyak 30% dapat menyebabkan kolaps vaskuler pada individu yang sama. Namun penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa gejala yang tampak atau ketidakmampuan yang jelas secara bertahap biasanya dapat ditoleransi sampai 50%. Mekanisme kompensasi tubuh bekerja melalui :
a) Peningkatan curah jantung dan pernapasan, karena itu menambah pengiriman oksigen ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah.
b) Meningkatkan pelepasan oksigen dan hemoglobin.
c) Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan.
d) Redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.
Individu yang telah mengalami anemia selama waktu yang cukup lama dengan kadar hemoglobin antara 9 –11 g/dl, hanya mengalami sedikit gejala atau tidak ada gejala sama sekali selain takikardi ringan selama latihan. Takikardi menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Dispnea pada latihan biasanya terjadi bila kadar hemoglobin dibawah 7,5 g/dl yang merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman oksigen. Kelemahan hanya terjadi bila kadar hemoglobin dibawah 6 g/dl. Dispnea istirahat bila dibawah 3 g/dl dan gagal jantung hanya pada kadar sangat rendah 2-2,5 g/dl, hal ini disebabkan karena otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang meningkat.
Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Ini diakibatkan berkurangnya volume darah, hemoglobin dan vasokontriksi untuk memperbesar pengiriman oksigen ke organ-organ vital. Warna kuku, telapak tangan, memban mukosa mulut dan konjungtiva dapat digunakan untuk menilai kepucatan.
Pemeriksaan diagnostik
Data diagnosis didasarkan atas hasil:
a) Penentuan klinis
Anamnese (karena defek produksi sel darah merah atau destruksi sel darah merah).
Pemeriksaan fisik.
b) Pemeriksaan tambahan / laboratorium
Berbagai uji hematologis dilakukan untuk menentukan jenis dan penyebab anemia. Uji tersebut meliputi kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks sel darah merah, penelitian sel darah putih, kadar besi serum, pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, kadar vitamin B12, hitung trombosit, waktu perdarahan, waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik untuk menentukan adanya penyakit akut atau kronis serta sumber kehilangan darah kronis.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang. Penatalaksanaan anemia berdasarkan jenisnya, yaitu :
a. Anemia aplastik
Penatalaksanaannya meliputi transplantasi sumsum tulang dan terapi immunosupresif dengan antithimocyte globulin (ATG) yang diperlukan melalui jalur sentral selama 7-10 hari. Prognosis buruk jika transplantasi sumsum tulang tidak berhasil. Bila diperlukan dapat diberikan transfusi RBC rendah leukosit dan platelet (Phipps, Cassmeyer, Sanas & Lehman, 1995).
b. Anemia defisiensi besi
Diatasi dengan mengobati penyebabnya dan mengganti zat besi secara farmakologis selama satu tahun. Laki-laki membutuhkan 10 mg/hari, wanita yang menstruasi 15 mg/hari dan postmenaupouse membutuhkan 10 mg/hari.
c. Anemia megaloblastik
Untuk anemia megaloblastik yang disebabkan karena defisiensi vitamin B12 (anemia pernisiosa) dan defisiensi asam folat diobati dengan pemberian vitamin B12 dan asam folat oral 1 mg/hari.
d. Anemia sel sabit
Pengobatannya mencakup pemberian antibiotik dan hidrasi dengan cepat dan dengan dosis yang besar. Pemberian tambahan asam folat setiap hari diperlukan untuk mengisi kekurangan asam folat yang disebabkan karena adanya hemolisis kronik. Transfusi hanya diperlukan selama terjadi krisis aplastik atau hemolitik. Pendidikan dan bimbingan yang terus-menerus termasuk bimbingan genetik, penting dilakukan untuk pencegahan dan pengobatan anemia sel sabit.
Komplikasi
Ada tiga komplikasi yang umum terjadi pada anemia yaitu gagal jantung, kejang dan parestesia (perasaan yang menyimpang seperti rasa terbakar dan kesemutan).
THALASEMIA
Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin (medicastore, 2004).
Sindrom thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Kosasih, 2001).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif, menurut hukum mendel. Pada tahun 1925, diagnosa penyakit ini pertama kali diumumkan oleh Thomas Cooley (Cooley’anemia) yang di dapat diantara keluarga keturunan italia yang bermukim di USA. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani yang berarti laut.
B. Penyebab
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan secara resesif dari kedua orang tua.Thalasemia termasuk dalam anemia hemolitik, dimana umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal 100-120 hari). Umur eritrosit ada yang 6 minggu, 8 minggu bahkan pada kasus yang berat umur eritosit bisa hanya 3 minggu.Pada talasemia, letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar dengan jenis asam amino lainnya.
C. Klasifikasi
Secara molekuler, talasemia dibedakan atas:
1. Talasemia alfa (gangguan pembentukan rantai alfa)
2. Talasemia beta ( gangguan pembentukan rantai beta)
3. Talasemia beta-delta (gangguan pembentukan rantai beta dan delta)
4. Talasemia delta (gangguan pembentukan rantai delta).
Secara kinis, talasemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Talasemia mayor (bentuk homozigot), memiliki 2 gen cacat, memberikan gejala klinis yang jelas.
2. Talasemia minor, dimana seseorang memiliki 1 gen cacat dan biasanya tidak memberikan gejala klinis.
D. Patofisiologi
Mengenai dasar kelainan pada thalasemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalasemia alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karenakecelakaan gen) yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.
Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggun karena tidak memerlukan rantai beta justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit dan menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberi gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.
Eritropoesis dalam sumsum tulang sangat gesit, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan.
Thalasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/kelainan yang bedasarkan defek/kelainan hanya satu gen.
E. Manifestasi Klinik
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar mengalami anemia ringan.
Pada talasemia mayor, terjadi anemia berat tipe mikrositik dengan pembesaran pada hati dan limpa. Muka mongoloid, pertumbuhan badan kurang sempurna (pendek), perubahan pada tulang karena hiperaktifitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan (terutama tulang panjang). Dapat pula mengakibatkan pertumbuhan berlebihan tulang frontal, zigomatik dan maksilaris. Pertumbuhan gigi biasanya buruk. IQ kurang baik apabila tidak mendapat tranfusi darah secara teratur dan menaikan kadar Hb. Anemia biasanya mulai muncul pada usia 3 bulan dan jelas pada usia 2 tahun.
Gejala lain pada penderita thalassemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal ini karena tugas hemoglobin membawa oksigen ke seluruhtubuh. Pada thalassemia, karena oksigen yang dibawa hemoglobin kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras, sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar. Lama kelamaan, jantung akan bekerja lebih keras, sehingga cepat lelah. Akibatnya terjadi lemah jantung. "Limpa penderita juga bisa menjadi besar, karena penghancuran darah merah terjadi di sana." Selain itu, sumsum tulang juga bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensir kekurangan hemoglobin. Akibatnya, tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika kerusakan tulang terjadi pada tulang muka, misalnya, pada tulang hidung, maka bentuk muka pun akan berubah. Batang hidung menjadi hilang/melesak ke dalam (facies cooley). Ini merupakan salah satu tanda khas penderita thalassemia.
Thalasemia minor umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
F. Prognosis
Thalasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating agent untuk mengurangi hemosiderosis (harga mahal). Di negara maju dengan fasilitas tranfusi yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai dekade ke-5 dan kualitas hidup yang lebih baik.
Jika dikemudian hari transplantasi sumsum tulang dapat diterapkan maka prognosisnya akan menjadi lebih baik.
G. Komplikasi
Pada talasemia minor, memiliki gejala ringan dan hanya menjadi pembawa sifat. Sedangkan pada thalasemia mayor, tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga harus mendapatkan tranfusi darah seumur hidup. Ironisnya, transfusi darah pun bukan tanpa risiko. Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari darah donor ke penerima, misalnya, penyakit Hepatitis B, Hepatitis C, atau HIV. Reaksi transfusi juga bisa membuat penderita menggigil dan panas.
Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah seumur hidup, maka anak bisa menderita kelebihan zat besi karena transfusi yang terus menerus tadi. Akibatnya, terjadi deposit zat besi. Karena jumlahnya yang berlebih, maka zat besi ini akhirnya ditempatkan di mana-mana.Misalnya, di kulit yang mengakibatkan kulit penderita menjadi hitam. Deposit zat besi juga bisa merembet ke jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder, sehingga terjadi gangguan fungsi organ. Misalnya, tak bisa menstruasi pada anak perempuan karena ovariumnya terganggu. Jika mengenai kelenjar ginjal, maka anak akan menderita diabetes atau kencing manis. Tumpukan zat besi juga bisa terjadi di lever yang bisa mengakibatkan kematian. "Jadi, ironisnya, penderita diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga.
Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
H. Penatalaksanaan
a) Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB. Pemberian tranfusi darah berupa sel darah merah diberikan jika kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Kadar setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorsi Fe dari traktus digestivus. Sebaiknya darah tranfusi tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung leukosit serendah-rendahnya.
b) Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diet buruk
c) Pemberian cheleting agents (desferal) untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh secara intramuskular atau intravena secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g dengan setiap unit darah transfusi.
d) Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin..
e) Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum di dapatkan tanda hiperplenisme atau hemosiderosis. Sesudah splenektomi, biasanya frekuensi tranfusi menjadi berkurang. Pemberian multi vitamin tetapi kontra indikasi terhadap preparat besi.
f) Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise jika pubertas terlambat.
g) Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2 tahun dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus. (Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)
I. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk skrining dan diagnosis thalasemia meliputi:
1. Hematologi Rutin: untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah
2. Gambaran darah tepi : untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel darah.
3. Feritin, SI dan TIBC : Untuk melihat status besi
4. Analisis Hemoglobin : untuk diaknosis dan menentukan jenis thalassemia.
5. Analisis DNA : untuk diaknosis prenatal (pada janin) dan penelitian.
Pada talasemia mayor:
Darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, poikilositosis dan aanya sel target; jumlah retikulosit meningkat serta adanya sel seri eritrosit muda (normoblas). Hb rendah, resistensi osmotik patologis. Nilai eritrosit rata-rata (MC), volume eritrosit rata-rata (VER/MCV), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER/MCH) dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER/MCMC) menurun. Jumlah leukosit normal atau meningkat. Kadar besi dalam serum normal atau meningkat. Kadar bilirubin dalam serum meningkat. SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parenkim hati oleh hemosiderosis.
Pada thalasemia minor:
Kadar Hb bervariasi. Gambaran darah tepi dapat menyerupai thalasemia mayor atau hanya sebagian. Nilai VER dan HER biasanya menurun, sedangkan KHER biasanya normal. Resistensi osmotik meningkat.
Pemeriksaan lebih maju adalah analisa DNA, DNA probing, gene blotting dan pemeriksaan PCR (polymerase Chain Reaction).
b. Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks. Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar kadang-kdang terlihat brush appearance (menyerupai rambut berdiri potongan pendek). Fraktur kompresi vertebra dapat terjadi. Tulang iga melebar terutama pada bagian artikulasi dengan processus transversus.
J. Pencegahan
a) Pencegahan primer :
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
b) Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).
Sumber:
Price, Sylvia A & Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku 1. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.